SINTANG – Persoalan buruh pruning di perusahaan sawit menjadi salah satu fokus utama dalam rapat kerja Komisi C DPRD Kabupaten Sintang bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Jumat, 13 Juni 2025.
Dalam rapat yang berlangsung di Ruang Paripurna DPRD itu, dibahas secara mendalam soal kabar di lapangan mengenai rendahnya upah buruh pruning yang hanya sebesar Rp50.000 per hektare.
Ketua Komisi C, Anastasia, menjelaskan bahwa informasi tersebut muncul dari laporan masyarakat di wilayah Ambalau. Namun, setelah mendengarkan klarifikasi dari pihak perusahaan, ternyata informasi tersebut tidak sepenuhnya benar.
“Dari penjelasan perusahaan, kegiatan pruning itu ternyata memiliki tiga kategori dengan besaran upah yang berbeda,” ujar Anastasia.
Kategori pertama adalah pruning rehab, yaitu pemangkasan dari awal sampai pohon berbuah dengan upah Rp1.400 per hektare. Kedua, pruning overdue atau pemangkasan pohon yang terlalu rimbun dengan upah Rp960 per hektare. Ketiga, pruning progresif, yaitu pembuangan pelepah saat panen yang dilakukan tiga kali dalam sebulan.
Untuk pruning progresif, jumlah pelepah yang dibuang tidak sebanyak 120 batang per hektare seperti pada kategori lainnya. Umumnya hanya 20–25 persen dari total pohon sawit yang ditanam dalam satu hektare, atau sekitar 25 batang. Hal inilah yang sering disalahpahami masyarakat sebagai “pruning satu hektare dengan upah hanya Rp50.000”.
“Rp50.000 itu bukan untuk satu hektare penuh, tapi hanya untuk pembuangan pelepah saat panen. Masyarakat perlu tahu supaya tidak salah paham,” kata Anastasia.
Ia menegaskan pentingnya transparansi informasi antara perusahaan dan masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait upah dan hak pekerja.